Memasuki minggu ke 38 awal, belum ada perkembangan berarti. Sehingga istri saat itu ingin coba kontrol ke dokter lain yang bukan partner saat itu. Alangkah kecewanya dan geram saya saat itu ketika memasuki ruangan, kami hanya ditanya berapa jarak kehamilan dengan operasi SC terakhir. Lalu, tanpa penjelasan apapun langsung berkata kurang lebih seperti ini “SC lagi ya, jam 10 saya kosong, mau ga? Atau kalau ga mau hari ini ya hari Selasa” (kami di dokter tersebut sekitar jam 07:00 WIB). Gila saja, sontak saya langsung bilang, tidak usah. Dan balasan yang saya terima adalah “Kenapa ga mau SC? Kan yang penting mah keluar anaknya sehat, hari ini mah jam 10 periksa, besoknya udah bisa lihat bayinya”. Tanpa pikir panjang, kami keluar dan mengabaikan dokter tersebut.
Tidak puas dengan apa yang kami terima, akhirnya kami coba kontrol ke dokter partner kami saat itu. Responnya sangat positif, kami juga dijadwalkan untuk dilakukan pengecekan dalam, mulai dari mulut rahim, ketebalan rahim, posisi janin, dan lainnya. Jelas saja kami kembali bersemangat saat itu.
Pada minggu ke 39 istri menjalani pengecekan dalam seperti yang disebutkan, hasilnya sangat memuaskan. Mulut rahim mulai melunak, ketebalan rahim aman untuk VBAC, posisi janin baik, ketuban masih sangat baik. Selanjutnya di minggu itu juga kami bisa kontrol 2-3 kali. Di minggu ini istri saya sudah mulai masuk pembukaan satu.
Pada minggu ke 39 akhir kami cek kembali ke dokter partner, dan ternyata ada pembukaan satu menuju pembukaan dua. Di minggu ini juga telah dilakukan membrane sweep, dengan harapan dapat menstimulasi terjadinya kelahiran spontan. Tetapi, ternyata belum ada perkembangan lanjut.
Pada minggu ke 40 awal ternyata masih belum ada perkembangan walaupun mulut rahim sudah semakin melunak. Seluruh hasil pengecekan sangat positif. Namun, karena majunya pembukaan sangat lambat, dikhawatirkan terjadi stalled labor (berhentinya persalinan). Sehingga, saat itu dokter partner kami menyarankan untuk operasi SC. Walaupun sebenarnya masih ada kemungkinan untuk melahirkan normal.
Akhirnya, dokter kami saat itu membuatkan surat rujukan ke dokter lain untuk melakukan operasi SC (untuk keperluan BPJS). Siangnya kami menuju IGD persalinan untuk menyampaikan surat rujukan. Akhirnya istri dilakukan cek kembali oleh bidan dan untungnya saat itu bidan mengajurkan kami untuk kontrol dulu dengan dokter rujukan tersebut keesokan harinya, karena hasil pemeriksaan tidak ada indikasi untuk dilakukan operasi, masih sangat baik kondisinya.
Esok harinya (rabu minggu 40) kami menemui dokter rujukan kami dan dilakukan pengecekan. Saya juga menjelaskan kronologi trisemester ketiga istri dan rencana untuk VBAC. Responnya sangat positif dan mengajurkan kami untuk menunggu dan kontrol kembali dua minggu kemudian.
Pada hari kamis minggu 40, kontraksi semakin kuat. Namun kami belum menuju IGD saat itu, aktivitas masih dilakukan seperti biasa. Siang hari, ketika bersiap untuk makan siang, tidak diduga ternyata ketuban istri saat itu pecah rembes. Akhirnya saat itu juga kami menuju IGD persalinan.
Sesampainya di IGD persalinan, istri langsung menuju ruang bersalin. Lalu saya dipanggil dan membaca diagnosanya yaitu bsc (bekas sectio caesarian) dan kpd (ketuban pecah dini) fase laten yang artinya masih kurang dari 4 cm. Alhasil, saya hanya dipersilakan untuk menunggu saat itu. Namun, saya sangat positif saat itu karena melihat kontraksi istri lebih kuat dibanding hari sebelumnya.
Sekitar pukul 16:00 WIB, saya kembali dipanggil oleh perawat. Saat itu bidan menjelaskan bahwa istri saya sudah pembukaan empat dan kontaksinya baik. Namun, jika hingga pukul 20:00 WIB belum memasuki pembukaan 8, maka akan dilakukan operasi SC kembali. Lalu saya dipersilakan menunggu kembali, dan berharap semoga cepat ke pembukaan lengkap.
Akhirnya, doa kami terkabul. Saya dipanggil kembali dan istri saat itu sudah pembukaan 8 sekitar pukul 19:00 WIB. Disitu saya boleh menemani istri dan menyaksikan proses persalinan. Tidak lama dari itu istri saya sudah pembukaan lengkap dan persalinan pun mulai dilakukan. Sayangnya, karena istri sebelumnya diharuskan berpuasa untuk persiapan SC (jika tidak berhasil atau terjadi stalled labor), sehingga istri saya kekurangan energi untuk mendorong bayi keluar. Sehingga, pada akhirnya dilakukan episiotomi untuk mempermudah persalinan.
Alhamdulillah, persalinan berjalan dengan lancar dan bayi lahir dengan selamat. Istri juga saat itu kondisinya baik. Doa kami terkabul dan upaya kami selama ini tidak sia-sia. Dari momen yang kami alami juga menyimpulkan bahwa VBAC adalah hal yang sangat mungkin dicapai, terlebih jika kondisi Ibu tidak ada hal yang menghalangi. Selain itu, kami juga belajar bahwa lingkungan sangatlah berperan penting. Hindari lingkungan yang mungkin dapat menjatuhkan semangat kita dalam mencoba VBAC. Lalu, faktor yang tak kalah penting adalah ahli kandungan yang memang dapat dan mau membantu kita untuk menjalankan VBAC. Kami sendiri mencari ahli kandungan yang cocok dengan berganti-ganti dokter saat itu. Lalu, tak lupa untuk bersabar dan tetap bersemangat menjalani prosesnya.